Asuhan Keperawatan Katarak
BAB I
LANDASAN TEORITIS
A. Konsep Dasar
1. Defenisi
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat kedua-duanya. Biasanya mengeai kedua mata dan berjalan progresif.
Katarak adalah terjadinya opasitas secara progresif pada lensa atau kapsul lensa. Umumnya akibat dari proses penuaan yang terjadi pada semua orang lebih dari 65 tahun.
(Marilynn E. Doenges, 1999: 412)
Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih dan biasanya terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak kongenital).
(Brunner and Suddarth, 2001: 1996)
2. Etiologi
Penyebabnya bermacam-macam antara lain:
Usia lanjut
Dapat terjadi secara kongenital akibat infeksi virus dimasa pertumbuhan janin
Genetik
Gangguan perkembangan
Kelainan sistemik atau metabolik seperti DM, dan distrofi miofomik
Traumatik
Terapi kortikos teroid sistemik
Rokok dan konsumsi alkohol
(Arief Mansjoer, 1999: 62)
3. Anatomi Dan Fisiologi
Mata adalah organ penglihatan, umumnya mata dilukiskan sebagai bola. Tapi sebetulnya lonjong dan bukan bulat seperti bola. Bola mempunyai garis tengah kira-kira 2,5 cm bagian dalam bening serta terdiri dari 3 lapisan yaitu:
Lapisan luar yaitu fibrus yang merupakan lapisan penyangga
Lapisan tengah yaitu vaskuler
Lapisan dalam yaitu lapisan saraf
Mata adalah suatu struktur yang sangat khusus dan kompleks, menerima dan mengirimkan data ke korteks serebral. Seluruh lobus otak, lobus oksipital ditujukan khusus untuk mencerminkan citra visual. Lebih lanjut lagi ada 7 saraf otak (50) memiliki hubungan dengan mata: untuk penglihatan 50 II), gerakan mata (50 III, IV dan VI), reaksi pupil (50 III). Pengangkatan kelopak mata (50 III) dan penutupan kelopak mata (50 III). Hubungan batang otak menunjukkan koordinasi gerakan mata.
Lensa tidak mengandung pembuluh darah, tidak berwarna dan hampir bening, sempurna dengan tebal 4 mm dan diameter 9 mm, lensa terdiri dari kira-kira 65% air lebih kurang dari 35% protein dan kadar kalium lebih banyak di dalam lensa dibanding dengan sebagian besar jaringan lainnya di dalam lensa tidak terdapat serabut rasa sakit maupun saraf.
(Brunner and Suddarth, 2001: 1996)
5. Manifestasi Klinik
Gejala utama pada katarak adalah gangguan peglihatan seperti perubahan penglihatan atas. Warna mata yang menjadi miopi selama mata terbatas cahaya yang terpancar, penglihatan yang semakin buruk, pandangan kabur, berkurangnya ketajaman penglihatan dan kekeruhan lensa secara bertahap.
Keluhan yang timbul adalah penuruan tajam penglihatan secara progresif dan penglihatan seperti berasap sejak awal katarak dapat terlihat melalui pupil yang telah berdilatasi dengan oftalmoskop, slit lamp atau shadaw test, setelah katarak berkembang matang maka retina menjadi semakin sulit dilihat sampai akhirnya refleks funduks tidak ada dan pupil berwarna putih.
Pada katarak senil dikenal 4 stadium yang insipiens, imatur, matur dan hipermatur. Pada stadium insipen dapat terjadi perbaikan penglihatan dekat stadium pada katarak senil.
Insipien
|
Imatur
|
Matur
|
Hipermatur
|
|
Kekeruhan
|
Ringan
|
Sebagian
|
Seluruh
|
Mosif
|
Cairan lensa
|
Normal
|
Bertambah
|
Normal
|
Berkurang
|
Tris
|
Normal
|
Terdorong
|
Normal
|
Tremulans (hy bila janula putus)
|
Bilik mata depan
|
Normal
|
Dangkal
|
Normal
|
Dalam
|
Sudut bilik mata
|
Normal
|
Sempit
|
Normal
|
Terbuka
|
Shadow test
|
Negatif
|
Positif
|
Negatif
|
Pseudopositif
|
Penyulit
|
-
|
Glaukoma
|
-
|
Uneitis glaukoma
|
6. Komplikasi
Komplikasi yang timbul jika penyakit primernya tidak dapat pengobatan cepat maka akan timbul tanda katarak glaukoma dan radang di dalam mata (uteitis). Di samping itu karakter dapat bersifat kongenital dan harus didefenisikan awal karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan ambliona dan kehilangan penglihatan permanen.
(Brunner and Suddarth, 2001: 1999 – 2000)
7. Pemeriksaan Diagnostik
Kartu mata snelen / mesin telebinokular (tes ketajaman penglihatan dan sentral penglihatan): mungkin terganggu dengan kerusakan kornea lensa, akueus atau vitreus humor, kesalahan atau penyakit sistem saraf atau penglihatan keretina atau jalan optik
Lapang penglihatan: penurunan mungkin disebabkan oleh GSU, massa tumor pada hipofisis / otak, karotis atau patologis serebral atau glaukoma
Pengukuran tonografi: mengkaji intraokuler (T10) → (normal 12 – 25 mmHg)
Pengukuran ginioskopi: membantu membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glaukoma
Tes provokatif: digunakan dalam menentukan adanya / tipe glaukoma bila tio normal atau hanya meningkat ringan
Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi lempeng optik, papiladema, perdarahan retina, dan mikro organisme. Dilatasi dan pemeriksaan belahan lampu memastikan diagnosa katarak
Darah legkap, laju sedimentasi (LED): menunjukkan anemia sistemuk / infeksi
EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid: dilakukan untuk memastikan aterosklerosis, PAK
Tes toleransi glukosa ?FBS: menentukan adanya / kontrol diabetes
A scan altrasound (enchography) dan hitung sel endotel sangat berguna sebagai alat diagnostik, khususnya bila akan dilakukan pembedahan (H, sel endotel 2000 sel / mm3)
(Marilynn E. Doeges, 1999: 413)
8. Penatalaksanaan
Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah menimbulkan penyakit seperti glaukoma dan uveinitis. Teknik yang umum dilakukan adalah ekstraksi katarak ekstrakapsular dimana isi lensa dikelauarkan melalui pemecahan atau perobekan kapsul lensa anterior. Sehingga korteks dan nukleus lensa dapat dikeuarkan melalui robekan tersebut korteks dan nukleus lensa dapat timbul penyulit katarak skunder.
Dengan teknik ekstraksi katarak intrakapsular tidak terjadi katarak sekunder karena seluruh lensa bersama kapsul dikeluarkan, dapat dilakukan pada katarak senil yang molur dan zanula zinn telah rapuh. Namun tidak dilakukan pada pasien. Kurang dari 40 tahun, katarak imatur dan yang masih memiliki zonula zinn.
Dapat pula dilakuka teknik ekstrakapsular dengan fakoemul sifikasi yaitu fragmetasi nukleus lensa dengan gelombag ultrasonik sehingga hany diperlukan insisi kecil dimana komplikasi pasca operasi lebih sedikit dan rehabilitasi penglihatan pasien meningkat.
Penatalaksanaan pasca operasi terutama diajukan untuk mencegah infeksi dan terbukanya luka operasi. Pasien diminta tidak banyak bergerak dan menghindari mengangkat beban berat selama sebulan. Mata ditutup selama beberapa hari atau dilindungi dengan kacamata atau pelindung pada siang hari dan dengan pelindung logam pada malam hari.
(Arief Mansjoer, 1999: 63)
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Aktivitas / istirahat
Gejala:
Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan peglihatan.
Makanan / cairan
Gejala:
Mual / muntah.
Neurosensori
Gejala:
Gangguan penglihatan (kabur / tidak jelas) sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap peglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat / merasa di ruang gelap
Tanda:
Tampak kecoklata atau putih susu pada pupil.
Nyeri / kenyamanan
Gejala:
Ketidaknyamanan ringan / mata berair (glaukoma kronis)
Nyeri tiba-tiba / berat menetap atau tekanan pada daerah sekitar mata, sakit kepala (glaukoma akut)
(Marilynn E. Doenges, 1999: 412)
2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan sensori perseptual penglihatan b/d gangguan penerimaan sensori atau status organ indera menurunnya ketajaman gangguan penglihatan dan perubahan respons biasanya terhadap rangsangan
2) Resiko tinggi terhadap cidera b/d pendarahan intra okuler d/d pasien mengatakan tidak dapat melihat dan aktivitas dibantu oleh perawat dan keluarga
3) Resiko tinggi terhadap infeksi b/d prosedur ivasif (bedah pengangkatan katarak) d/d luka operasi pada mata kanan, pasien tampak sering memegangi mata yang diperban
4) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan b/d tidak mengenal sumber informasi dan keterbatasan kognitif d/d pertanyaan dan pernyataan salah konsepsi, tidak akurat mengikuti instruksi dan terjadi komplikasi yang dapat dicegah
3. Intervensi / Perencanaan
Dx 1
Tujuan:
Gangguan akan sensori perseptual penglihatan teratasi.
Kriteria hasil:
Meningkatkan hasil ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu
Mengenal gangguan sensori dan berkompetensi terhadap perubahan
Mengidentifikasi / memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan
Intervensi | Rasionalisasi |
|
|
Dx 2
Tujuan:
Resiko tinggi terhadap cedera dapat teratasi.
Kriteria hasil:
Menyatakan pemahaman faktor yang terlibat dalam kemungkinan cidera
Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan untuk melindungi diri dari cidera
Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan
Intervensi | Rasionalisasi |
|
|
Dx 3
Tujuan:
Resiko tinggi terhadap infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil:
Meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu, bebas drainase purulen, eritema dan demam
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah dan menurunkan resiko infeksi
Intervensi | Rasionalisasi |
|
|
Dx 4
Tujuan:
Kurangnya pengetahuan akan kondisi, prognosis dan pengobatan dapat teratasi.
Kriteria hasil:
Menyatakan pemahaman kondisi / proses penyakit dan pengobatan
Melakukan dengan prosedur benar dan menjelaskan alasan tindakan
Intervensi | Rasionalisasi |
|
|
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengkajian
Pada tahap pengkajian teoritis yang di dapat adalah riwayat kesehatan yang meliputi penggambaran lengkap tentang masalah telinga termasuk infeksi, otalgia (nyeri telinga), ototthoe (telinga berair) dan kehilangan pendengaran. Data juga dikumpulkan mengenai durasi, intensitas masalah dan penyebab serta penanganan sebelumnya. Informasi perlu diperoleh mengenai masalah kesehatan lain dan semua obat yang diminum pasien. Selain itu riwayat alergi, obat dan riwayat keluarga juga harus dipertanyakan. Pengkajian fisik juga dilakukan meliputi observasi adanya eritema (gatal), edema (pembengkakan), otorrhoe, leri dan bau cairan yang keluar.
Pada tahap pengkajian keperawatan yang ada di kasus tidak jauh berbeda dengan teori. Pada kasus tidak ditemukan sedangkan pada teori tuli konduktif ada ditemukan. Dimana dapat disimpulkan bahwa karena proses peradangan yang berulang yang tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan timbulnya episode otitis media akut yang berulang.
2. Diagnosa Keperawatan
Secara teoritis diagnosa keperawatan ada 8 yaitu:
1) Gangguan rasa nyaman nyeri b/d pembedahan mastoid
2) Perubahan persepsi sensori b/d potensial kerusakan nervus fasialis (nervus kranialis VII) dan saraf korda timpani
3) Perubahan persepsi auditorius b/d kelainan telinga atau pembedahan telinga
4) Ansietas b/d prosedur pembedahan, potensial kehilangan pendengaran, potensial gangguan pengecap dan potensial kehilangan gerakan fasial
5) Resiko terhadap trauma b/d kesulitan keseimbangan atau vertigo selama periode pasca operatif segera
6) Resiko terhadap infeksi b/d mastoidektomi, protesis dan trauma bedah terhadap jaringan dan struktur sekitarnya
7) Kerusakan integritas kulit b/d pembedahan telinga, insisi dan tempat graft
8) Kurang pengetahuan tentang penyakit mastoid, prosedur bedah dan asuhan pasca operatif b/d kurangnya informasi
Sedangkan diagnosa pada kasus yang ditemukan ada 7 yaitu 4 diagnosa pada pre operatif dan 3 diagnosa pada post operatif.
Diagnosa pre operatif
1) Gangguan rasa nyaman nyeri b/d kerusakan tulang pendengaran dan mastoiditis kronik d/d klien mengatakan nyeri pada daerah telinga kiri, klien tampak meringis kesakitan menahan sakit dan skala nyeri 6 – 7
2) Gangguan persepsi sesori pendengaran b/d kerusakan pendengaran d/d klien mengatakan tidak jelas mendengarkan suara perawat, tampak sulit mengartikan apa yang dikatakan oleh lawan bicara
3) Gangguan pemenuhan istirahat tidur b/d nyeri d/d klien mengatakan sulit tidur baik pada siang maupun malam hari dan dapat tidur menjelang subuh 3 – 4 jam, klien tampak gelisah dan mata klie tampak cekung serta wajah kelihatan pucat dan lemah.
4) Cemas b/d kurang pengetahuan d/d klien tampak khawatir karena akan dioperasi
Diagnosa post operatif
1) Gangguan rasa nyaman yeri b/d luka operasi d/d klien mengatakan bahwa rasa nyeri pada daerah bekas operasi, klien kelihatan gelisah dan tampak bendung masih ada di daerah kepala klien dan bekas operasi masih diperban dan skala yeri 4 - 5
2) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik d/d klien mengatakan belum bisa melakukan aktivitas sendiri, klien tampak berbaring di tempat tidur dan belum turun di tempat tidur serta aktivitas di bantu keluarga dimana standar perawatan diri mis: makan: 2, berpakaian: 2, kebersihan diri: 2 dan elimiasi: 2.
3) Resiko tinggi terjadinya infeksi b/d luka insisi d/d luka bekas operasi belum sembuh dan tampak diperban
Diagnosa keperawatan yang ada pada kasus hampir bersmaan dengan yang pada teori yang ada meski tidak semua diagnosa yang ada di teori muncul pada kasus yang ada. Dan terdapat juga diagnosa yang muncul di kasus melainkan di teori tidak muncul, yaitu:
Diagnosa keperawatan 5 pada teori: resiko terhadap trauma b/d kesehatan keseimbagan atau vertigo selama periode pasca operatif segera. Hal ini tidak ditemukan pada kasus karena pasien tidak ada menunjukkan resiko trauma dan klien mengalami kesulitan keseimbangan dan klien mampu mengontrol keseimbangannya.
Diagnosa keperawatan 7 pada teori: kerusakan integritas kulit b/d pembedahan telinga, insisi dan tampak grapt. Kasus karena pasien tidak ada menunjukkan kerusakan pada kulit
Diagnosa keperawatan 8 pada teori: kurang pengetahuan tentang penyakit mastoid, prosedur bedah dan asuhan pasca operatif b/d kurangnya informasi. Hal ini tidak ditemukan pada kasus karena pasien menunjukkan
Diagnosa keperawatan 3 pada kasus: gangguan pemenuhan istirahat tidur b/d nyeri d/d klien mengatakan sulit tidur baik pada siang maupun malam hari dan dapat tidur menjelang subuh 3 – 4 jam, klien tampak gelisah dan mata klien tampak cekung serta wajah kelihatan pucat dan lemah. Hal ini ditemukan pada kasus karena nyeri yang dirasakan klien pada telinga menyebabkan klien tidak dapat beristirahat
Diagnosa keperawatan 6 pada kasus intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik d/d klien mengatakan belum bisa melakukan aktivitas sendiri, klien tampak berbaring di tempat tidur dan belum turun dari tempat tidur serta aktivitas dibantu keluarga dimana standar perawatan diri misal makan: 2, kebersiha diri: 2 dan eliminasi: 2. Hal ini ditemukan pada kasus karena pasien mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas perawatan diri akibat kelemahan fisik.
3. Intervensi
Peulis melaksanakan intervensi keperawatan dengan rumusan diagnosa keperawatan pada kasus antara lain:
Diagnosa keperawatan pre operatif
Diagnosa keperawatan 1
• Kaji tingkat nyeri yang dirasakan klien (skala nyeri 6 – 7)
• Pertahankan tirah baring selama fase akut
• Pantau tanda-tanda vital klien
• Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
• Alihkan perhatian klien dari sakitnya
• Berikanlah tindakan nyaman (pijatan dahi) dan bantu aktivitas perawatan diri
• Observasi tingkat cemas, terangsang dan gelisah
Diagnosa keperawatan 2
• Berikan tempat tidur yang nyaman dan beberapa milik pribadi seperti bantal
• Tentukan dan pantau kebiasaan tidur pada biasanya dan perubahan yang terjadi
• Tingkatkan regimen kenyamanan waktu tidur mis: minum segelas susu hangat
• Instruksi tindakan relaksasi
• Kurangi kebisingan dan cahaya lampu
• Dorong posisi nyaman dan bantu dalam mengubah posisi
Diagnosa keperawatan 3
• Kaji tingkat ansietas dan diskusikan penyebabnya bila memungkinkan
• Tentukan sikap pasien / orang terdekat ke arah penerimaan pada fasilitas diharapan masa depan
• Instruksikan pasien dalam efek pengobatan
• Berikan upaya kenyamanan dan aktivitas yang menyebabkan stress
Diagnosa Keperawatan 4
• Kaji tingkat pendengaran dengan menyatakan pertanyaan
• Observasi selalu kebersihan telinga
• Kaji kemampuan untuk berbicara dan memberikan tanggapan terhadap stimulus
• Berikan komunikasi dan verbal untuk menyampaikan tujuan misalnya: sentuh dan gerak tangan
Diagnosa keperawatan post operatif
Diagnosa Keperawatan 1
• Kaji tingkat nyeri yang dirasakan klien
• Pertahankan tirah baring selama fase akut
• Pantau tanda vital klien
• Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy
• Berikan tindakan nyaman untuk pasien misalnya: beri posisi yang nyaman untuk klien
Diagnosa Keperawatan 2
• Identifikasi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan mis: makan dan berpakaian
• Dorong dan motivasi keluarga klien untuk membantu dalam memenuhi kebutuhan klien
Diagnosa Keperawatan 3
• Tetap pada fasilitas kontrol infeksi sterilitasi dan prosedur aseptik
• Periksa kulit untuk memelihara adanya infeksi yang terjadi
• Identifikasi gangguan pada tehnik aseptik dan diatasi dengan segera pada waktu terjadi
4. Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan seluruh intervensi dapat dilaksanakan dengan baik dikarenakan adanya kerja sama yang baik antara pasien, keluarga pasien dan perawat. Sedangkan hambatan yang ditemukan dari pihak rumah sakit yaitu terlambatnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Misalnya tindakan operasi yang lama dan pemeriksaan lainnya yang belum dilakukan sehingga dapat memperlambat proses pelaksanaan untuk penyembuhan dari pihak pasien hambatannya yaitu: keluarga pasien dan pasien kurang mampu berbahasa Indonesia dan pasien hanya mengerti dengan menggunakan bahasa daerah (Batak).
5. Evaluasi
Evaluasi bertujuan untuk mengetahui kebersihan untuk mencapai tujuan yang dilakukan secara terus-menerus. Dalam hal ini penulis menjelaskan bahwa dari 7 diagnosa keperawatan yang ada, ada 2 diagnosa keperawatan yang masalahnya sebagian teratasi yaitu (diagnosa post operatif)
1) Resiko tinggi terjadinya infeksi b/d luka insisi d/d luka bekas operasi belum sembuh dan masih diperban
2) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik d/d klien mengatakan belum bisa melakukan aktivitas sendiri
3) Klien tampak berbaring di tempat tidur serta aktivitas dibantu keluarga
4) Dimana standar keperawatan diri misalnya: makan: 2, berpakaian: 2, kebersihan diri: 2, dan eliminasi: 2.
Adapun diagnosa keperawatan yang belum teratasi ada 5 yaitu (diagnosa pre operatif):
1) Gangguan rasa nyaman nyeri b/d kerusakan tulang pendengaran dan mastoiditis d/d klien merasakan nyeri pada telinga kiri, klien tampak meringis kesakitan menahan sakit dan skala nyeri 6 – 7
2) Gangguan persepsi sensori pendengaran b/d pembentukan koleosteoton d/d klien mengatakan tidak jelas mendengar suara perawat, tampak sulit mengartikan apa yang dikatakan lawan bicara dan klien mengalami tuli konduktif
3) Gangguan pemenuhan istirahat tidur b/d nyeri d/d klien mengatakan sulit tidur baik siang maupun malam hari dan dapat tidur menjelang subuh 3 – 4 jam, klien tampak gelisah dan mata klien tampak cekung serta wajah kelihatan pucat dan lemah
4) Cemas b/d kurang pengetahuan d/d klien tampak khawatir dioperasi
5) Gangguan rasa nyaman nyeri b/d operasi d/d klien mengatakan terasa nyeri pada luka bekas operasi, klien tampak gelisah dan tampak bandge masih ada di daerah kepala klien akan luka operasi masih diperban dengan skala nyeri 4 – 5.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
I. Kesimpulan
Dari pembahasan kasus penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Dari tahap pengkajian yang dilakukan penulis adalah melakukan pengumpulan data, pemeriksaan fisik, anamnese, fisiologi dan sosial konfrensif dan menyeluruh
2. Pada rumusan diagnosa keperawatan yang ada pada teori dan kasus ditemukan sedikit perbedaan yaitu pada diagnosa keperawatan di teori tidak ditemukan pada kasus dan pada kasus ditemukan diagnosa keperawatan baru
3. Pada perencanaan atau intervensi semua diagnosa keperawatan telah dibuat perencanaannya sesuai dengan kebutuhan Ny. A.
4. Pada pelaksanaan tindakan keperawatan seluruh intervensi dapat dilaksanakan dengan baik, dengan kerja sama klien, keluarga klien dan perawat serta tim medis lainnya
5. Pada tahap evaluasi hasil pada prinsipnya ketiga diagnosa keperawatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan tindakan keperawatan dimana 3 diagnosa hanya sebagian teratasi berhubungan pasien PBJ pada hari 4 pengimplementasi
II. Saran
1. Pada pihak klien dan keluarga
- Agar klien tetap memelihara personal hygiene dengan baik terutama di telinga
- Agar keluarga kooperatif terhadap tindakan keperawatan yang diberikan
- Agar klien memakan dan meminum obat secara teratur
2. Pada perawat
- Agar lebih meningkatkan ilmu pengetahuan khususnya tentang katarak dan melaksanakan intervensi keperawatan sesuai dengan kebutuha klien
- Agar perawat memberikan penkes (pendidikan kesehatan) ketika klien akan pulang
3. Pihak RS
- Agar lebih mengarahkan pada tim medis untuk melanjutkan intervensi keperawatan pada klie sehingga tercapainya tujuan pemuligan dilakukan
0 Response to "Asuhan Keperawatan Katarak"
Post a Comment